Isnin, 3 November 2014

Abu Hayyan al-Aydrus



Suatu hari aku hadir awal di pustaka kecil kami dan duduk memandang karya-karya silam ini.

"Kami gelandangan," bunyi sayu mengisi ruang.

"Apa maksud kalian? Bukankah buku-buku ini menjadi rumah kalian?"


"Gelandangan dengan makna tersendiri. Jiwa ilmu itu rumahnya di dalam dada, wahai insan. Bukan di dalam helaian kertas atau lembaran usang ini."

"Kalian terlalu indah. Barangkali terlalu sakit dada manusia untuk menampung kalian."

"Maka seharusnya sebahagian manusia itu kuat dan tabah untuk menanggung kasih ini. Jika tidak, manusia akan bergelandangan. Pernahkah engkau membina rumah tanpa kekuatan? Yang tiada rumah untuk dirinya atau yang rumah dadanya sunyi menagih kasih yang kami bawa. Yang yatim terputus hubungan dengan ibu bapa atau yang terputus silsilah didikan yang mengasuh jiwa. Yang miskin tiada sakinah pada raga atau yang miskin tiada sakinah pada jiwa. Jika manusia memandang ke sana, pandanglah ke sini. Berikan jiwa kami rumah dalam dada manusia. Jika manusia memandang ke sini, pandanglah ke sana. Serikan rumah, didikan dan sakinah untuk mereka."

"Ke sini, ke sana, ke sini, ke sana ... kalian mengajar aku bertawaf? Aku sudah rindukan negeri itu."

"Apa yang engkau temui dalam tawaf engkau?"

"Semua teman aku tahu... Semua teman aku tahu... Hari berganti, masa berlalu. Walaupun sebahagian manusia jauh dari medan tawaf itu, mereka tahu ke mana mereka menuju. Walaupun baginda berhijrah meninggalkan medan itu, baginda kembali menanda-dirikan umat yang satu..."

Tiada ulasan:

Catat Ulasan